- Degradasi dan Hilangnya Lahan-Lahan Pertanian Yang Produktif
Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusialah yang berpotensi berdampak positip atau negatip pada lahan, tergantung cara menjalankan pertaniannya. Apabila dalam menjalankan pertaniannya benar maka akan berdampak positip, namun apabila cara menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan. (Atmojo, 2006)
- Penggunaan lahan miring memicu erosi
Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat produktivitas lahan DAS bagian hulu, yang akan berakibat terhadap luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering akan menyebabkan degradasi lahan Misalnya lahan didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor. Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan bentuk degradasi lahan yang sangat dominan. (Atmojo, 2006)
- Penggunaan Agrokimia
Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan di lingkungan pertanian dapat disebabkan karena penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak proporsional. Pada tahun enampuluhan terjadilah biorevolusi dibidang pertanian, yang dikenal dengan revolusi hijau dan telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara spektakuler, yaitu dengan dikenalkannya penggunaan agrokimia, baik berupa pupuk kimia maupun obat-obatan (insektisida). Memang dengan revolusi hijau tersebut, produksi pangan dunia meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis pangan. Namun dampak penggunaan agrokimia mulai dirasakan saat ini. Dampak negatip dari penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunya keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk kimia dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam.
Penggunaan pestisida yang berlebih dalam kurun yang panjang, akan berdampak pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Perlu difikirkan pada saat ini residu pestisida akan menjadi factor penentu daya saing produk-produk pertanian yang akan memasuki pasar global.
Penggunaan pupuk kimia yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah. Misalnya petani menggunakan urea (hanya mengandung hara N) dalam dosis tinggi secara terus menerus, sementara tanaman mengambil unsure hara tidak hanya N (nitrogen) dalam jumlah yang banyak, maka akan terjadi pengurasan hara lainnya. Unsur hara pokok yang dibutuhkan tanaman semuanya ada 16 unsur, sehingga apabila tidak ditambahkan akan terjadi pengurasan hara lainnya (15 hara) dan pada saatnya akan terjadi kemerosotan kesuburan karena terjadi kekurangan hara lain. Dilaporkan dipersawahan yang intensif missal Delanggu diduga kekurangan hara mikro Zn dan Cu. Memang seyogyanya semua hara yang dibutuhkan tanaman perlu ditambahkan, namun yang demikian sulit dilakukan. Kecuali dengan penambahan pupuk organik secara periodik yang mengandung hara lengkap yang sekarang semakin jarang dilakukan petani.
Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kadungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sementara, system pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %. Bahan oraganik tanah disamping memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburanfisiknya akan semakin menurun. (Atmojo, 2006)
- Pertambangan dan galian C
Usaha pertambangan besar sering dilakukan diatas lahan yang subur atau hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan tanah yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada reaksi tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam atau sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah.
Semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan terutama batu bata dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga semakin banyak (galian C). Tanah untuk pembuatan batu bata dan genteng lebih cocok pada tanah tanah yang subur yang produktif. Dengan dipicu dari rendahnya tingkat keuntungan berusaha tani dan besarnya resiko kegagalan, menyebabkan lahan-lahan pertanian banyak digunakan untuk pembuatan batu bata, genteng dan tembikar. Penggalian tanah sawah untuk galian C disamping akan merusak tata air pengairan (irigasi dan drainase) juga akan terjadi kehilangan lapisan tanah bagian atas (top soil) yang relatif lebih subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawahan (sub soil) yang kurang subur, sehingga lahan sawah akan menjadi tidak produktif. (Atmojo, 2006)
- Alih fungsi lahan
Dampak alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian akan mengganggu keseimbangan energi dipermukaan tanah. Secara metematis, tanda-tanda klimatologis peluang terjadinya gurun pasir dapat dijelaskan melalui konsep neraca energi seperti pada persamaan berikut Rn=LE+S+A, dengan Rn radiasi netto; LE bahan latent evapotranspitasi (Iatent heat evapotranspirations), S bahan untuk memanaskan tanah; A bahan untuk memanaskan udara.
Berdasarkan persamaan tersebut terlihat, bahwa energi yang diterima permukaan bumi pertamakali digunakan untuk menguapkan air tanah (Soil Water), dan lengas tanah (Soil Moisture) (LE), baru kemudian untuk memanaskan tanah (S), lalu sisanya untuk memanaskan udara (A). Kandungan air tanah dan lengas tanah yang sangat rendah menyebabkan energi untuk menguapkannya menjadi kecil, sehingga radiasi matahari yang jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk radiasi netto sebagian besar akan digunakan untuk memanaskan tanah dan udara, sehingga suhunya meningkat. Dalam kondisi ekstrem, alih fungsi lahan dapat menyebabkan pengurasan cadangan air tanah, penurunan produksi air DAS, meningkatkan konsumsi air tanaman melalui transpirasi, dan yang paling menakutkan adalah terjadinya banjir. (Gatot irianto, 2004)
- Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim adalah perubahan dalam distribusi statistik cuaca selama periode waktu yang berkisar dari puluhan tahun untuk jutaan tahun.. Dapat menjadi rata-rata perubahan cuaca atau perubahan dalam distribusi peristiwa cuaca di sekitar rata-rata (misalnya, lebih besar atau lebih sedikit peristiwa cuaca ekstrim. Perubahan iklim mungkin terbatas ke suatu wilayah, atau mungkin terjadi di seluruh bumi. Hal ini dapat disebabkan oleh berulang, sering kali siklus pola iklim seperti El Niño dan La Niña, atau datang dalam bentuk tunggal lebih peristiwa-peristiwa seperti Dust Bowl. (Marty, 2006) Satu pertanyaan di awal adalah emisi gas rumah kaca apa dari pertanian? (1) Pertanian hasilkan 30% emisi anthropogenic Gas-Rumah-Kaca CO2 akibat buka hutan dan alih fungsi lahan, membakar biomassa dan pembakaran lahan gambut; CH4 dari produksi padi & peternakan; N2O dari pupuk mineral, limbah hewan (studi FAO); (2) Pertanian dapat menyerap carbon dengan produksi biomassa dan melepaskan carbon jika membakar biomass, di Indonesia suplai CO2 terbesar ialah dengan membuka lahan gambut. Selain itu ketergantungan terhadap bahan agrokimia yang tidak ramah lingkungan mulai dari proses pembuatannya yang membutuhkan bahan bakar fosil yang banyak sehingga memicu peningkatan emisi karbon hingga penggunaannya yang dapat menyebabkan degradasi lahan yang sedemikian sehingga mampu meningkatkan suhu udara.
- Menipisnya Lapisan Ozon
Mekanisme rinci yang lubang ozon di kutub bentuk berbeda dari yang untuk lintang pertengahan menipis, namun proses yang paling penting dalam kedua tren adalah katalitik penghancuran ozon oleh atom klorin dan bromin.( Schiermeier, 2007) Sumber utama dari halogen atom dalam stratosfer adalah Photodissociation dari chlorofluorocarbon (CFC) senyawa, yang lazim disebut freons, dan bromofluorocarbon senyawa yang dikenal sebagai halons. Senyawa ini diangkut ke stratosfer setelah dipancarkan di permukaan (Francis dkk, 2007). Kedua mekanisme penipisan ozon diperkuat sebagai emisi CFC dan halons meningkat. Emisi gas rumah kaca dari pupuk, penggunaan pestisida, dan hewan pertanian (ternak).
But wait, there's more! Pembuatan dan penggunaan pestisida dan pupuk, bahan bakar dan minyak untuk traktor, peralatan, angkutan dan pengiriman, listrik untuk penerangan, pendingin, dan pemanas, dan emisi karbon dioksida, metan, nitrous oxide dan gas-gas rumah hijau. Metana adalah pupuk kandang yang dihasilkan oleh ternak di tanah pertanian dan limbah organik lainnya. Methane is a powerful greenhouse gas (GHG) that is approximately 23 times more powerfulMetana adalah gas rumah kaca yang sangat kuat (GHG) yang kira-kira 23 kali lebih kuatper unit at trapping heat than carbon dioxide (CO per unit pada perangkap panas daripada karbon dioksida (CO22) (Chicago Climate Exchange 2007).) (Chicago Climate Exchange 2007).Agricultural methane offset projects are designed to capture agricultural methane for
Methane bertanggung jawab untuk hampir sebanyak pemanasan global seperti semua non-gas rumah kaca CO2 bersama-sama. Methane is 21 times more powerful a greenhouse gas than CO2. Metana adalah 21 kali lebih kuat gas rumah kaca daripada CO2. While atmospheric concentrations of CO2 have risen by about 31% since pre-industrial times, methane concentrations have more than doubled. Sementara konsentrasi CO2 atmosfer telah meningkat sekitar 31% sejak pra-industri kali, konsentrasi metan lebih dari dua kali lipat. Whereas human sources of CO2 amount to just 3% of natural emissions, human sources produce one and a half times as much methane as all natural sources. Sedangkan sumber manusia jumlah CO2 hanya 3% dari emisi alam, sumber manusia menghasilkan satu setengah kali lebih banyak metana sebagai sumber alam. In fact, the effect of our methane emissions may be compounded as methane-induced warming in turn stimulates microbial decay of organic matter in wetlands—the primary natural source of methane. Bahkan, efek dari emisi metana kami dapat diperparah sebagai pemanasan diinduksi metana pada gilirannya merangsang mikroba pembusukan bahan organik di lahan basah-sumber alam utama metana.
Dengan emisi metana menyebabkan hampir setengah dari planet-manusia akibat pemanasan, metana pengurangan harus menjadi prioritas. Methane is produced by a number of sources, including coal mining and landfills—but the number one source worldwide is animal agriculture. Metana dihasilkan oleh sejumlah sumber, termasuk pertambangan batu bara dan tempat pembuangan sampah-tapi nomor satu di seluruh dunia adalah binatang sumber pertanian. Animal agriculture produces more than 100 million tons of methane a year. Hewan pertanian menghasilkan lebih dari 100 juta ton metan per tahun. And this source is on the rise: global meat consumption has increased fivefold in the past fifty years, and shows little sign of abating.
- Kemunduran Keanekaragaman Spesies
Beragam spesies tanaman dan hewan yang hidup di planet ini - disebut sebagai keanekaragaman hayati - sekarang sedang terancam oleh pertanian intensif. A growing human population, however, also entails growing needs, which, in turn, requires current agricultural practices to maximize the use of available land while minimizing damage to the environment and biodiversity. Populasi manusia yang tumbuh Namun, juga mensyaratkan pertumbuhan kebutuhan, yang, pada gilirannya, memerlukan praktek pertanian saat ini untuk memaksimalkan penggunaan lahan yang tersedia dan meminimalkan kerusakan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati. (Anonim, 2004)
Pertanian dan kegiatan pembangunan lainnya telah menyebabkan penurunan keseluruhan sekitar 2% di dunia hutan dan lahan, antara 1980 dan 1990. In the developing regions, natural forest cover declined by 8% (UNEP, 1997). Di daerah berkembang, tutupan hutan alam mengalami penurunan sebesar 8% (UNEP, 1997). Agricultural practices also influence terrestrial and aquatic biodiversity within and around agricultural fields (Tilman, 1999; Tilman et al., 2002). Praktek pertanian juga mempengaruhi keanekaragaman hayati darat dan perairan di dalam dan di sekitar lahan pertanian (Tilman, 1999; Tilman et al., 2002). Fertilizers, pest control chemicals, tillage and even crop rotation have an impact on the biodiversity of agricultural ecosystems (Beringer, 2000; Ross et al., 2002). Pupuk, pengendalian hama kimia, dan bahkan tanah yg dikerjakan rotasi tanaman berdampak pada keanekaragaman hayati dari ekosistem pertanian (Beringer, 2000; Ross et al., 2002).
Tillage practices, on the other hand, can cause soil erosion, reduce soil quality, and disrupt biodiversity.Praktek-praktek pertanian modern, termasuk tanah yg dikerjakan dan intensif penggunaan insektisida konvensional, telah secara luas dikaitkan dengan penurunan keanekaragaman hayati di agro-ekosistem.
Tillage leads to frequent disturbances of the agricultural landscape, increases energy loss from agricultural fields, and increases problems of soil erosion and run-off from agricultural fields.Budidaya menyebabkan gangguan sering lanskap pertanian, kehilangan energi meningkat dari ladang pertanian, dan masalah-masalah meningkatkan erosi dan run-off dari bidang pertanian. When (Witmer et al., 2003) studied corn, soybean, and wheat cropping systems in the Mid- Atlantic region of the United States, they found that ground dwelling and foliage-dwelling beneficial arthropods were least abundant, and pests were most abundant, in the simplest, most intensively managed continuous corn system. Ketika (Witmer et al., 2003) mempelajari jagung, kedelai, dan gandum sistem tanam di wilayah Atlantik Tengah Amerika Serikat, mereka menemukan bahwa tanah tempat tinggal dan dedaunan yang tinggal menguntungkan arthropoda yang paling banyak, dan hama yang paling banyak, paling sederhana, sebagian besar dikelola secara intensif terus-menerus sistem jagung. This suggests that shifts toward conservation tillage and no-till will benefit agricultural biodiversity. Hal ini menunjukkan bahwa konservasi bergeser menuju tanah yg dikerjakan dan tidak ada-sampai akan menguntungkan keanekaragaman hayati pertanian.The intensive use of conventional insecticides generally reduces diversity through direct toxic effects.
Intensif penggunaan insektisida konvensional umumnya mengurangi keragaman melalui efek toksik langsung. Many of the widely used classes of conventional insecticides, including organophosphates and pyrethroids, have been shown to adversely affect a broad range of non-target species, including species of economic importance. Banyak kelas yang digunakan secara luas insektisida konvensional, termasuk organophosphates dan pyrethroids, telah terbukti mempengaruhi berbagai non-target spesies, termasuk spesies kepentingan ekonomi. Local extinctions are common where these insecticides are frequently used. Kepunahan lokal adalah umum di mana insektisida ini sering digunakan. Such insecticides have been shown to eliminate important predator and parasitoid species from agricultural systems. Insektisida seperti telah terbukti untuk menghilangkan predator dan parasitoid penting spesies dari sistem pertanian. (Pimentel et al., 1993) (Pimentel et al., 1993)
Referensi
Atmojo, S Wongso. 2006. Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian. SOLO POS, Selasa pon, 7 Nopember 2006
Beringer, J.E. 2000. Releasing genetically modified organisms: will any harm outweigh any advantage? Journal of Applied Ecology, 37, 2, pp 207-214
Chicago Climate Exchange, 2007, "Overview dan Sering Diajukan, Pertanian Methane Offsets in Chicago Climate Exchange”,Methane Offset di Chicago Climate Exchange ", http://www.chicagoclimatex.com/docs/offsets/Agricultural_Methane_Offsets_faq.pdf ,http://www.chicagoclimatex.com/docs/offsets/Agricultural_Methane_Offsets_faq.pdf, accessed January 28, 2009.diakses 05 Maret 2010
Pimentel, D., McLaughlin, L., Zepp, A., Lakitan, B., Kraus, T., Kleinman, P., Vancini, F., Roach, W.J., Graap, E., Keeton, W.S., & Selig, G. (1993) Environmental and Economic-Effects of Reducing Pesticide Use in Agriculture (Reprinted from Biosci, Vol 41, Pg 402, 1991). Agriculture Ecosystems & Environment, 46, 1-4, pp 273-288
Tilman, D. 1999. Global environmental impacts of agricultural expansion: The need for sustainable and efficient practices. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 96, 11, pp 5995-6000
Tilman, D., Cassman, K.G., Matson, P.A., Naylor, R., & Polasky, S. 2002. Agricultural sustainability and intensive production practices. Nature, 418, 6898,pp 671-677. http://www.nature.com/cgi-taf/DynaPage.taf?fil e=/nature/journal/v418/n6898/full/nature01014_fs.html diakses tgl 05 Maret 2010 Witmer, J.E., Hough-Goldstein, J.A., & Pesek, J.D. 2003. Ground-dwelling and foliar arthropods in four cropping systems. Environmental Entomology, 32, 2, pp 366-376