Tradisi budidaya tanaman padi di Jawa dan luar Jawa sudah berlangsung selama ratusan tahun. Produksi dan perdagangan beras pun bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi sudah menjadi cara hidup (way of life).
Pertanian padi menjadi bagian ekonomi, budaya, dan tradisi desa-desa Jawa maupun luar Jawa. Cara hidup ini ditekuni belasan juta petani sehingga padi menjadi tumpuan keluarga petani. Tidak hanya itu, ketahanan pangan penduduk dibangun dari cara hidup budidaya tanaman padi ini.
Banyak keluarga dan tenaga kerja yang tergantung dari cara hidup bertani meski Indonesia sudah mulai masuk era industri. Dengan demikian, pertanian padi masih bermakna dalam dimensi sosial, kependudukan, bahkan politik. Masalah yang terjadi pada padi juga berhubungan dengan dimensi-dimensi non-ekonomi.
Beras juga merupakan makanan pokok, menjadi ujung tombak ketahanan pangan wilayah dan nasional. Peran itu sudah terjadi sejak berabad-abad lalu dan disistematisasikan pada masa pemerintahan Orde Baru. Dengan demikian, kepentingan ketahanan pangan sekaligus kepentingan tenaga kerja dan kependudukan bukan lagi menjadi isu ekonomi dan perdagangan semata, tetapi menjadi wilayah politik ekonomi karena aspek strategis berbagai bidang itu menuntut peran pemerintah yang proporsional dan efektif.
Naif sekali jika ekonom dan teknokrat pengambil keputusan menggiring sistem perberasan ke perdagangan bebas dalam logika efisiensi semata dari filosofi homo economicus. Isu beras selama ini lebih cenderung masuk logika efisien atau tidak, perlu tarif atau tidak dalam rangka efisiensi itu. Logika seperti ini tidak sesuai dengan kepentingan strategis tadi sehingga sistem perberasan seharusnya dilihat dari sisi kepentingan dan aspek kebijakan lebih luas, politik ekonomi dan sosial.
Nasib petani
Pada masa Orde Baru, nasib petani tidak mengalami perbaikan berarti. Banyak program subsidi dan perlindungan yang diberikan kepada petani, tetapi melenceng dari tujuan. Kredit pertanian diberikan dan kebijakan penyangga beras dilaksanakan melalui Bulog. Kebijakan harga dasar gabah diputuskan oleh pemerintah pada tingkat yang rendah. Namun, harga itu hanya sesekali bisa dicapai, bahkan sering di bawah harga dasar sehingga tidak mampu mengubah perbaikan kesejahteraan hidup petani.
Kebanyakan petani tidak menikmati harga gabah hasil panen secara memadai. Keuntungan minimal diperoleh karena injeksi teknologi dan subsidi. Kondisi itu menjadi disinsentif bagi petani untuk menanam padi, yang akhirnya mengancam produksi nasional. Meski demikian, daya tahan produksi padi tetap tinggi, di atas 55 juta ton per tahun.
Saat harga tidak stabil, lobi-lobi pedagang di sekitar presiden dan Bulog berjalan amat kuat dan intensif. Ini menandakan banyaknya perburuan rente ekonomi yang melibatkan kekuasaan dalam sistem perberasan nasional sejak dahulu. Praktik ekonomi politik seperti ini marak di sekitar kekuasaan eksekutif karena kondisinya tidak seimbang di masa lalu.
Kekuatan lobi pedagang menjadikan Indonesia pasar impor dan menghasilkan rente ekonomi amat besar. Pada saat yang sama, di pasar internasional tersedia surplus besar beras, potensial menghasilkan perdagangan residu (residual trading).
Semangat memburu rente ekonomi dan surplus beras di beberapa negara menjadi kekuatan untuk menggiring impor beras yang besar di masa lalu. Indonesia yang potensial dan pernah swasembada beras justru berbalik menjadi importir beras karena menadah surplus beras negara-negara lain. Praktik ini membantu negara lain menstabilkan harga, tetapi menciptakan masalah di dalam negeri.
Pemerintah negara-negara lain, terutama di Asia, menjadikan sistem perberasan juga sebagai bagian politik ekonomi nasional untuk menciptakan ketahanan pangan. Subsidi pupuk, benih, kredit, penyuluhan, infrastruktur irigasi, dan lainnya banyak diberikan pemerintah sehingga harga beras bukan cermin biaya sebenarnya. Jika terjadi surplus, keadaan itu menjadi ancaman harga beras di tingkat petani di negara itu. Selain itu, biaya penyimpanan juga menjadi masalah.
Karena itu, negara-negara surplus beras akan mengalami masalah ekonomi. Solusinya, melempar surplus itu ke negara lain. Rente ekonomi inilah yang dimainkan lobi-lobi pedagang pada masa Orde Baru, mengalahkan lobi petani. Dengan alasan kekurangan pangan atau untuk stok beras, surplus beras di negara lain ditarik ke Indonesia sehingga selalu merusak pasar.
Setelah Orde Baru, belum ditemukan cara memperbaiki pasar dan harga beras yang menguntungkan petani. Bulog sebagai buffer stock sudah dihancurkan IMF karena banyak korupsi di dalamnya.
Kini, Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan bersama DPR mengusung kebijakan baru untuk mengalahkan lobi-lobi pedagang. Perburuan rente ekonomi dari praktik impor berlebihan harus dihentikan. Indonesia tidak boleh dijadikan sasaran surplus beras negara lain yang ingin menstabilkan kondisi pasar beras dalam negerinya.
Impor beras
Kepentingan petani harus diutamakan, terutama untuk menikmati harga wajar. Kebijakan menutup impor beras harus diteruskan karena dampaknya relatif membaik, membantu memperbaiki harga di tingkat petani. Perdagangan antarpulau juga menggairahkan.
Dalam dengar pendapat pemerintah dengan DPR, banyak dibicarakan tentang masalah perlindungan petani, tetapi wujud kebijakan perlindungan itu belum jelas. Salah satu bentuknya adalah kebijakan bantuan subsidi. Namun, lalu muncul kebijakan pemerintah menutup keran impor, yang dinilai sebagai salah satu cara efektif untuk membantu menstabilkan harga beras di tingkat petani. Jika ini terus dijalankan, sedikit banyak petani bisa terbantu.
Kebijakan ini baru dilaksanakan Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan, tetapi hasilnya cukup memadai. Pemerintah tidak lagi tunduk kepada lobi-lobi pedagang, tetapi sudah memerhatikan kepentingan yang lebih luas dan lebih besar, yakni kepentingan petani.
Pemerintah Thailand merasa terganggu dengan kebijakan ini karena khawatir surplus dalam negeri tidak tersalurkan ke pasar ekspor sekaligus mengganggu pasar dan harga dalam negeri. Namun, Presiden SBY, yang alumnus IPB, tidak perlu mengikuti permintaan negara lain untuk membuka keran impor. Kepentingan petani dalam negeri harus diutamakan.
Rabu, 20 Juli 2005
Didik J Rachbini, Ekonom
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar