Jumat, 11 Maret 2011

Menggunakan Serangga Pemangsa dan parasitoid sebagai Pengendalian Hama

1. Hama adalah makhluk hidup yang menjadi pesaing, perusak, penyebar penyakit, dan pengganggu semua sumber daya yang dibutuhkan manusia. Definisi hama bersifat relatif dan sangat antroposentrik berdasarkan pada estetika, ekonomi, dan kesejahteraan pribadi yang dibentuk oleh bias budaya dan pengalaman pribadi.

2. Pengkategorian serangga hama didasarkan pada sumber daya yang dipengaruhinya. Tiga kategori umum hama serangga adalah hama estetika, hama kesehatan, serta hama pertanian dan kehutanan. Hama estetika mengganggu suasana keindahan, kenyamanan, dan kenikmatan manusia. Hama kesehatan menimbulkan dampak pada kesehatan dan kesejahteraan manusia berupa luka, ketidaknyamanan, stress, sakit, pingsan, dan bahkan kematian. Sekitar 50% dari seluruh jenis serangga penghuni bumi merupakan serangga herbivora yang dapat merusak tanaman pertanian dan kehutanan secara langsung atau pun tidak langsung.

3. Pertanian monokultur dengan varietas tanaman yang berproduksi tinggi telah menyediakan pasokan makanan yang seragam kualitasnya dan tidak ada habis-habisnya bagi serangga herbivor. Sistem monokultur juga telah menciptakan kondisi lingkungan yang sangat mendukung bagi peningkatan laju reproduksi dan laju kelangsungan hidup serangga herbivora. Keduanya menjadi pemicu ledakan hama serangga di lahan pertanian.

4. Pertanian monokultur biasanya menerima asupan energi berupa pupuk buatan dan pestisida. Jika insektisida yang digunakan untuk mengendalikan populasi hama ternyata juga membunuh atau mengusir musuh alami hama, maka akan terjadi pertukaran dari agen pengendali jangka panjang (musuh alami) ke agen pengendali jangka pendek (insektisida kimia). Apabila pengaruh pengendali kimia tidak ada maka populasi hama akan tumbuh tidak tertahan di lingkungan yang bebas dari musuh alaminya.

5. Sebagian besar taktik pengendalian hama tidak pernah 100 % efektif. Biasanya akan ada sejumlah kecil hama yang mampu bertahan hidup untuk bereproduksi dan menurunkan materi genetiknya kepada generasi selanjutnya. Apabila materi genetik tersebut membawa gen (atau alel) resisten terhadap insektisida, maka taktik pengendalian yang pernah diterapkan akan kurang efektif terhadap generasi barunya. Populasi hama resisten dapat mencapai ledakan dengan cepat kecuali jika kita mengubah atau memperbarui taktik pengendalian sehingga menjadi lebih efektif.

6. Mekanisme lain yang menyebabkan ledakan hama adalah perpindahan makhluk hidup, baik sengaja ataupun tidak sehingga mampu melintasi berbagai penghalang geografi antar negara. Jenis-jenis introduksi tersebut menikmati iklim yang sesuai, makanan melimpah, dan tidak ada musuh alami, sehingga populasinya berkembang dengan sangat cepat dan menyebar luas ke lokasi-lokasi lainnya.

7. Sekarang banyak konsumen menginginkan buah dan sayuran yang bebas sama sekali dari serangga (zero tolerance) dan tidak akan mentoleransi adanya kontaminasi atau kerusakan sedikitpun karena serangga. Produsen telah ditekan oleh konsumen untuk menerapkan praktek pengendalian hama yang lebih keras sehingga dihasilkan komoditas yang diinginkannya. Konsumen tidak menyadari jika penggunaan pestisida yang intensif akan diikuti oleh resurgensi hama dan perkembangan hama sekunder karena tidak ada lagi musuh alaminya, serta munculnya hama resisten terhadap insektisida.

Ekonomi Pengendalian Hama

1. Bioekonomi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara jumlah hama, respons tanaman terhadap luka karena serangan hama, dan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya. Bioekonomi membentuk dasar dari penilaian dan pengambilan keputusan dalam pengendalian hama, misalnya konsep tingkat luka ekonomi (economic injury level) yang dicetuskan oleh Stern et al. (1959).

2. Ahli entomologi mendefinisikan luka (injury) sebagai kerusakan fisik suatu komoditas akibat keberadaan atau aktivitas hama, sedangkan kerusakan (damage) didefinisikan sebagai kerugian nilai moneter suatu komoditas akibat luka. Setiap tingkat serangan hama akan menghasilkan luka, tetapi tidak semua tingkat luka akan menghasilkan kerusakan.

3. Untuk melihat hubungan antara kepadatan populasi hama serangga dan kerugian ekonomi maka para ahli entomologi telah mengembangkan konsep tingkat luka ekonomi (economic injury level) sebagai tanggapan untuk menemukan cara penggunaan insektisida yang lebih rasional.

4. Tingkat luka ekonomi (TLE) adalah konsep yang sangat berguna, namun tidak perlu menunggu hingga populasi hama mencapainya untuk memulai operasi pengendalian. Jadi, lebih baik memulai operasi pengendalian sebelum hama mencapai TLE. Untuk itu para ahli entomologi mengembangkan konsep ambang ekonomi (economic threshold) atau ambang aksi (action threshold). Ambang ekonomi (AE) adalah suatu indeks untuk pengambilan keputusan dalam pengelolaan hama.

5. Ambang ekonomi dapat ditentukan secara subjektif atau objektif. Penentuan secara subjektif merupakan pendekatan kasar karena tidak didasarkan pada penghitungan TLE dan penentuannya hanya didasarkan pada pengalaman para praktisi. Ambang ekonomi objektif, sebaliknya, didasarkan pada penghitungan TLE dan nilainya akan berubah mengikuti perubahan di dalam variabel utama dari TLE.

6. Berdasarkan kepentingan ekonomi manusia, hama serangga dapat dikelompokkan menjadi hama utama, hama minor, hama potensial, hama sekunder atau sporadis, dan hama kunci. Hama serangga juga dapat dikelompokkan berdasarkan seberapa sering manusia mengendalikannya, yaitu hama persisten, hama kadangkala, dan hama tidak umum atau tidak sering.

Serangga Pemangsa

1. Secara umum, pemangsa didefinisikan sebagai makhluk hidup yang memakan makhluk hidup lainnya. Pemangsaan merupakan suatu cara hidup yang sumber makanannya diperoleh dengan menangkap, membunuh, dan memakan hewan lain.

2. Pemangsa dari kelompok arthropoda terdiri atas sejumlah besar jenis serangga, ditambah dengan laba-laba dan tungau pemangsa. Di dunia ini diperkirakan ada sekitar 200.000 jenis pemangsa arthropoda, termasuk berbagai jenis laba-laba dan tungau pemangsa. Serangga pemangsa terdiri atas lebih dari 16 bangsa dan kurang lebih 2000 suku.

3. Karakteristik umum serangga pemangsa:

a. mengkonsumsi banyak individu mangsa selama hidupnya,

b. umumnya berukuran sebesar atau relatif lebih besar daripada mangsanya,

c. menjadi pemangsa ketika sebagai larva/nimfa, dewasa (jantan dan betina), atau keduanya,

d. pemangsa menyerang mangsa dari semua tahap perkembangan,

e. biasanya hidup bebas dan selalu bergerak,

f. mangsa biasanya dimakan langsung,

g. biasanya bersifat generalis,

h. seringkali memiliki cara khusus untuk menangkap dan menaklukkan mangsanya.

4 Beberapa bangsa serangga yang penting sebagai pemangsa dalam pengendalian alami dan hayati, antara lain adalah Coleoptera, Hemiptera, Neuroptera, dan Diptera. Kelompok pemangsa penting yang bukan serangga adalah laba-laba dan tungau pemangsa.

Pemilihan Mangsa

1. Istilah-istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan kisaran mangsa adalah monofagus (pemakan satu jenis mangsa), oligofagus atau stenofagus (pemakan beberapa jenis mangsa yang masih berkerabat), dan polifagus (pemakan banyak jenis mangsa dari kelompok yang berbeda). Pemangsa monofagus dan oligofagus disebut juga spesialis, sedangkan pemangsa polifagus disebut generalis.

2. Di alam, lebih banyak ditemukan pemangsa polifagus atau oligofagus daripada pemangsa monofagus. Kisaran hama yang sempit pada pemangsa oligofagus sering kali didasarkan pada keterkaitan taksonomi mangsa.

3. Pengetahuan mengenai filogeni pemangsa dan mangsa sangatlah penting untuk memahami kekhususan mangsa dan preferensi mangsa.

4. Tipe mangsa yang dimakan oleh pemangsa merupakan interaksi dari berberapa faktor (fisiologi, perilaku, dan ekologi), yaitu:

a. ketersediaan/kelimpahan relatif dari tipe mangsa yang khusus,

b. perilaku pemangsa dalam mencari makan,

c. kesesuaian nutrisi mangsa, dan

d. risiko pemangsaan yang berasosiasi dengan upaya dalam memperoleh mangsa.Kecuali keempat faktor di atas, perilaku oviposisi betina berperan penting dalam menentukan mangsa yang tersedia untuk larvanya.

5. Secara tradisional perilaku pemilihan mangsa atau inang dibagi menjadi empat komponen yang sering kali digabungkan bersama, yaitu penentuan lokasi habitat mangsa, penentuan lokasi mangsa, penerimaan mangsa, dan kesesuaian hama. Dalam proses pemilihan mangsa, umumnya pemangsa menggunakan kombinasi pertanda fisik (penglihatan dan sentuhan) dan pertanda kimiawi (bau dan rasa).

6. Senyawa kimia semio (semiochemical) adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai media komunikasi makhluk hidup, terdiri atas feromon (pheromone) dan senyawa kimia allelo (allelochemical). Feromon digunakan untuk komunikasi intraspesifik, sedangkan senyawa kimia allelo digunakan untuk komunikasi interspesifik. Senyawa allelo disebut kairomon (kairomone) jika yang menerima pesan memperoleh keuntungan dan disebut alomon (allomone) jika yang memberi pesan memperoleh keuntungan dan penerima menderita kerugian. Kecuali itu, ada sinomon (synomone) yang menguntungkan pemberi dan penerima pesan, serta apneumon (apneumone) yang dikeluarkan oleh materi tidak hidup dan menguntungkan penerimanya.

7. Di samping pertanda visual, senyawa volatil kairomon dan sinomon (sebagai pertanda kimia) juga merupakan pemikat bagi kehadiran jenis-jenis pemangsa tertentu di habitat mangsanya.

8. Untuk beberapa jenis pemangsa, penentuan lokasi mangsa menggunakan pertanda berupa campuran sinergis senyawa-senyawa yang dihasilkan baik oleh tanaman maupun mangsa.

9. Probabilitas sejenis mangsa untuk diterima oleh pemangsa tergantung pada kualitas jenis mangsa lain yang ada di lingkungannya. Kisaran hama yang diserang akan lebih sempit apabila hama berkualitas tinggi kelimpahanya tinggi dan melebar jika kelimpahannya rendah.

10. Pemangsa yang sudah menerima mangsa mungkin akan melanjutkan dengan memakannya sebagai sumber energi untuk perkembangan dan reproduksinya. Namun, jika mangsa tidak sesuai karena kualitas nutrisinya rendah, pemangsa akan menolaknya atau terus melanjutkan makannya tetapi dengan konsekuensi yang buruk.

11. Beberapa karakteristik musuh alami, termasuk pemangsa, yang diinginkan untuk keberhasilan pengendalian hayati adalah sebagai berikut:

a. memiliki kemampuan mencari yang baik,

b. memiliki kekhususan mangsa/inang,

c. memiliki laju reproduksi yang tinggi,

d. memiliki kemampuan adaptasi yang baik di habitat mangsa/inang,

e. memiliki daur hidup yang sinkron dengan mangsa/inang,

f. memiliki kemudahan untuk diperbanyak.

Serangga Parasitoid

1. Parasitoid adalah serangga yang sebelum tahap dewasa berkembang pada atau di dalam tubuh inang (biasanya serangga juga). Parasitoid mempunyai karakteristik pemangsa karena membunuh inangnya dan seperti parasit karena hanya membutuhkan satu inang untuk tumbuh, berkembang, dan bermetamorfosis.

2. Ada tiga bentuk partenogenesis yang dijumpai pada parasitoid, yaitu thelyotoky (semua keturunannya betina diploid tanpa induk jantan), deuterotoky (keturunannya sebagian besar betina diploid yang tidak mempunyai induk jantan dan jarang ditemukan jantan haploid), dan arrhenotoky (keturunan jantan haploid tidak mempunyai induk jantan, dan keturunan betinanya berasal dari induk betina dan jantan (diploid).

3. Parasitoid disebut internal atau endoparasitoid jika perkembangannya di dalam rongga tubuh inang dan eksternal atau ektoparasitoid apabila perkembangannya di luar tubuh inang.

4. Parasitoid yang membunuh atau yang melumpuhkan inang setelah meletakkan telur disebut idiobiont. Parasitoid yang tidak membunuh atau tidak melumpuhkan secara permanen setelah melakukan oviposisi disebut koinobiont.

5. Parasitoud yang menghasilkan hanya satu keturunan dari satu inang disebut soliter dan disebut gregarius kalau jumlah keturunan yang muncul lebih dari satu individu (tetapi berasal dari satu induk) per inang.

6. Hiperparasitoid atau parasitoid sekunder adalah parasitoid yang menyerang parasitoid primer. Adelphoparasitoid adalah parasitoid jantan yang memparasiti larva betina dari jenisnya sendiri.

7. Multiparasitisme adalah parasitisme terhadap inang yang sama oleh lebih dari satu jenis parasitoid primer, superparasitisme adalah parasitisme satu inang oleh banyak parasitoid dari jenis yang sama.

8. Sebagian besar parasitoid ditemukan di dalam dua kelompok utama bangsa serangga, yaitu Hymenoptera (lebah, tawon, semut, dan lalat gergaji) dan bangsa Diptera (lalat beserta kerabatnya). Meskipun tidak banyak, parasitoid juga ditemukan pada bangsa Coleoptera, Lepidoptera, dan Neuroptera. Sebagian besar serangga parasitoid yang bermanfaat adalah dari jenis-jenis tawon atau lalat.

9. Dari bangsa Diptera hanya suku Tachinidae yang paling penting di dalam pengendalian alami dan hayati hama pertanian dan kehutanan. Kelompok terbesar parasitoid, yaitu bangsa Hymenoptera merupakan kelompok yang sangat penting. Dua suku utama dari supersuku Ichneumonoidea, yaitu Braconidae dan Ichneumonidae, sangat penting dalam pengendalian alami dan hayati. Dari supersuku Chalcidoidea yang dianggap sebagai kelompok parasitoid paling penting dalam pengendalian alami dan hayati adalah Mymaridae, Trichogrammatidae, Eulophidae, Pteromalidae, Encyrtidae, dan Aphelinidae.

10. Parasitoid dianggap lebih baik daripada pemangsa sebagai agen pengendali hayati. Analisis terhadap introduksi musuh alami ke Amerika serikat menunjukkan bahwa keberhasilan penggunaan parasitoid dalam pengendalian hayati mencapai dua kali lebih besar daripada pemangsa.


Pemilihan dan Kisaran Inang

1. Dalam proses pemilihan inang, semua parasitoid melalui suatu rangkaian proses yang terdiri atas (1) pemilihan habitat inang, (2) penentuan lokasi inang, (3) pe-nerimaan inang, dan (4) kesesuaian inang. Keberhasilan parasitisme sangat tergan-tung pada keempat proses tersebut.

2. Dalam proses pemilihan inang, parasitoid berhadapan dengan berbagai pertanda yang sangat beragam sesuai dengan jaraknya dari inang. Pada jarak jauh, pertanda kimia (dari lingkungan inang) hanya memberikan informasi mengenai keberadaan habitat. Ketika parasitoid semakin mendekati inang, senyawa semiokimia yang berasal dari inang, aktivitas inang, dan organisme lain yang berasosiasi dengan inang akan menjadi petunjuk mengenai lokasi dan keberadaan inang. Pertanda visual, seperti warna, bentuk, dan pola-pola yang berasosiasi dengan inang, digunakan untuk meningkatkan efisiensi pencarian parasitoid.

3. Pemilihan habitat inang menggunakan pertanda yang berasal dari habitat tanpa tergantung pada ada atau tidak inang di dalamnya. Pertanda yang digunakan untuk pemilihan habitat biasanya visual atau bau senyawa volatil.

4. Penentuan lokasi inang terjadi setelah parasitoid berada di habitat yang tepat. Beragam pertanda akan membantu membawa parasitoid dari habitat inang (habitat) ke lokasi spesifik inang. Pertanda-pertandanya lebih spesifik, sangat dikenali, dan berjarak lebih dekat daripada pertanda habitat. Pertanda mungkin berasal dari inang, produk buangan inang, tanaman yang dimakan inang, atau dari organisme lain yang berasosiasi dengan inang. Pertanda lokasi inang dapat berupa bau, visual, sentuhan, atau suara.

5. Penerimaan inang adalah keputusan ya atau tidak (menerima atau menolak) ketika parasitoid menemukan inangnya. Pertanda yang digunakan meliputi senyawa kimia pada permukaan tubuh inang atau di dalam darah, dan pertanda fisik seperti ukuran, bentuk, umur, atau tekstur inang.

6. Setelah inang ditemukan dan dapat diterima, maka inang tersebut haruslah sesuai secara fisiologi dan nutrisi demi keberhasilan perkembangan keturunan parasitoid. Ukuran dan umur inang akan mempengaruhi kesesuaiannya.

7. Kisaran inang parasitoid adalah semua jenis inang yang diserang sehingga parasitoid berhasil memperoleh keturunannya. Untuk parasitoid yang menyerang banyak inang digunakan istilah generalis (polifagus), sedangkan yang menyerang sedikit atau satu inang disebut dengan spesialis (oligofagus atau monofagus). Kisaran inang potensial adalah semua jenis yang dapat diserang sehingga parasitoid dapat berkembang di dalamnya, sedangkan kisaran inang aktual adalah jenis-jenis yang biasa digunakan parasitoid sebagai inang. Kemungkinan penyebab perbedaan antara inang potensial dan aktual terletak pada urutan proses yang harus dilalui parasitoid untuk menggunakan sejenis inang.

8. Prediksi umum mengenai kisaran hama menyatakan bahwa parasitoid telur dan pupa mempunyai kisaran hama yang lebih lebar daripada parasitoid larva, dan ektopara-sitoid mempunyai kisaran hama yang lebih lebar daripada endoparasitoid. Keduanya berkaitan dengan sistem kekebalan yang dimiliki oleh inang. Endoparasitoid umumnya menyerang inang yang tubuhnya terlihat. Parasitoid yang menyerang inang dalam keadaan terlihat menunjukkan kisaran hama yang terbatas (spesialis). Sebaliknya, ektoparasitoid cenderung menyerang inang yang tubuhnya terlindung di dalam jaringan daun, kulit kayu, batang, atau jaringan-jaringan lain. Parasitoid yang menyerang inang dengan tubuh tersembunyi menunjukkan spektrum inang yang lebar (generalis).

9. Keseluruhan proses pemilihan inang akan menentukan kisaran inang. Rangkaian proses tersebut akan menjelaskan ketidaksesuaian antara kisaran hama potensial dan aktual karena setiap tahap urutan akan mengurangi jumlah jenis inang yang akan ditemukan dan diserang parasitoid.

10. Untuk mempertahankan diri, inang mungkin menangkal parasitoid secara eksternal sebelum terjadi oviposisi, atau secara internal setelah oviposisi terjadi. Reaksi pertahanan eksternal dapat dilakukan dengan menggerak-gerakkan tubuh, atau inang pindah ke bagian lain yang lebih aman. Reaksi pertahanan internal terdiri atas reaksi seluler (enkapsulasi dan melanisasi) dan reaksi humoral. Secara umum, inang yang berbeda menggunakan mekanisme pertahanan yang berbeda untuk menghadapi parasitoid yang sama, tetapi parasitoid yang berbeda akan menyebabkan reaksi pertahanan yang sama dari inang yang sama.


Sumber Buku Pengendalian Hayati Karya Adi Basukriadi

Tidak ada komentar: