Jumat, 11 Maret 2011

PEMANFAATAN KULTUR IN VITRO UNTUK TANAMAN BEBAS VIRUS DAN TAHAN GARAM

PENDAHULUAN

Teknologi kultur in vitro yang lebih dikenal dengan kultur jaringan merupakan suatu teknik mengembangbiakkan potongan jaringan tanaman di dalam media buatan yang steril. Teknologi ini didasari oleh sifat sel yang masing-masing mampu membentuk individu baru secara utuh yang mempunyai sifat identik dengan induknya khususnya sel yang masih muda baik yang berasal dari organ vegetatif misalnya akar, batang dan daun maupun organ generatif yaitu embrio datau bagian dari bunga. Berdasarkan bagian-bagian tanaman yang dikulturkan secara spesifik terdapat beberapa macam kultur:
  1. Kultur organ, yaitu kultur yang diinisiasi dari organ-organ tanaman seperti: pucuk terminal dan aksilar, meristem, daun, batang, ujung akar, bunga, buah muda, embrio, dan sebagainya.
  2. Kultur kalus, yaitu kultur sekumpulan sel yang tidak terorganisir, hanya sel-sel parenkim yang berasal dari bahan awal.
  3. Kultur suspensi, yaitu kultur sel bebas atau agregat sel kecil dalam media cair. Pada umumnya kultur suspensi diinisiasi dari kalus.
  4. Kultur protoplas, yaitu kultur sel-sel muda yang diinisiasi dalam media cair yang dihilangkan dinding selnya. Kultur protoplas digunakan untuk hibrididasi somatik (fusi dua protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
  5. Kultur haploid (kultur mikrospora/ anther), yaitu kultur dari kepala sari (kultur anther) atau tepung sari (kultur mikrospora)
Medium yang digunakan untuk membiakkan potongan jaringan tersebut mengandung makanan berupa unsur-unsur hara makro dan mikro. Disamping itu , ke dalam medium juga ditambahkan sumber karbon yang berasal dari sukrosa dan gula, vitamin dan zat pengatur tumbuh yang berfungsi untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kemampuan sel untuk menjadi calon tanaman atau planlet.
Perkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit anggrek dalam bentuk ‘flask’ sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya persepsi bahwa diperlukan investasi yang ’sangat mahal’ untuk membangun sebuah lab kultur jaringan, dan hanya cocok atau ‘feasible’ untuk perusahaan.
Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah :
  1. Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus.
  2. Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh yang dominan
  3. Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek ‘giant’ atau besar. Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat (cholchicine)
  4. Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu melakukan tekhnik ini.
  5. Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000. Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi
  6. Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara ‘in-vitro’ kita bisa mengoleksi tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.
Perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah terbukti dapat mempercepat pengadaan bibit dalam skala besar sesuai kebutuhan dengan kesinambungan yang tinggi serta bebas hama penyakit. Pemanfaatan teknologi in vitro untuk perbanyakan tanaman telah lama dikenal terutama untuk tanaman hortikultura khususnya tanaman hias (Gavinlertvatana and Prutvongse, 1991).

PEMANFAATAN KULTUR IN VITRO UNTUK TANAMAN BEBAS VIRUS DAN TAHAN GARAM

Dalam bidang agronomi kultur jaringan sangat membantu dalam usaha eliminasi patogen. Dengan metode ini dapat dipilih bagian atau sel-sel yang tidak mengandung sel-sel yang tidak mengandung patogen, terutama virus dan menumbuhkan sel-sel tersebut serta meregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap yang sehat. Secara konvensional tidak ada cara yang efektif untuk menghilangkan virus dari bahan tanaman. Kultur meristem yang disertai perlakuan temperatur 38-40oC selama beberapa waktu, dapat menghilangkan virus dari bahan tanaman. Bahan yang bebas patogen ini juga memudahkan pertukaran plasma nutfah internasional.
Balitsa Kembangkan Benih Kentang Bebas Virus
Kendala utama dalam peningkatan produksi kentang adalah pengadaan dan distribusi benih kentang berkualitas yang belum kontinyu dan memadai. Padahal saat ini, penggunaan benih bebas pathogen/berkualitas mutlak diperlukan.
Bibit bebas patogen, bisa didapatkan melalui kultur jaringan disertai dengan pengujian patogen secara intensif dan dilanjutkan dengan teknik perbanyakan cepat khususnya dengan menanam stek secara inviltro atau in vivo, untuk mendapatkan bibit kentang generasi nol (G0/benih sumber). Teknik inilah yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) Lembang.
Selanjutnya G0 berupa stek dikirimkan ke BBI Pangalengan untuk diperbanyak di Screen House A dan menghasilkan mini tuber, yang selanjutnya secara berurut ditanam menjadi G1 (pada screen house) dan G2 (di lapangan). Perbanyakan dari G2 ke G3 dilaksanakan di BBU (PD Mamin/PD Agribisnis) Pangalengan yang selanjutnya diperbanyak menjadi G4 oleh para penangkar yang telah terlatih.
Kegiatan memproduksi benih kentang berkualitas baik dalam bentuk tanaman in vitro atau umbi mini dibagi dalam 4 tahap mulai dari eliminasi penyakit sistemik terutama virus, Penggunaan teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif, Aklimatisasi, dan produksi umbi mini kentang.
Eliminasi Penyakit
Teknik kultur jaringan sangat membantu dalam usaha mengeliminasi penyakit sistemik terutama penyakit virus. Metode yang umum digunakan untuk produksi plantlet dan umbi mikro kentang adalah teknik kultur meristem atau kultur satu mata tunas (single-node culture). Kultur meristem digunakan untuk produksi bibit kentang bebas virus.
Keberhasilan dalam menggunakan metoda kultur jaringan sangat bergantung perbanyakan ini dimulai dengan penumbuhan jaringan meristem hingga pada penempatan kultur di ruang inkubasi atau incubator dengan suhu 20 – 22 o C dengan photoperiode 16 jam terang 8 jam gelap. Pada umumnya jaringan meristem akan tumbuh menjadi plantlet setelah 3 – 6 bulan setelah tanam.
Perbanyakan Tanaman
Penggunaan teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif merupakan areal/bidang yang paling maju dalam teknik kultur jaringan. Di Balai Penelitian Tanaman Sayuran setelah kultur meristem tumbuh menjadi plantlet, dilakukan perbanyakan in vitro dengan menanam stek buku tunggal secara in vitro. Pertumbuhan stek in vitro sampai dapat distek kembali/diperbanyak kembali antara 3 – 5 minggu setelah tanam, dari satu jaringan meristem umumnya akan didapatkan 3 – 5 tanaman in vitro.

Tanaman Transgenik Resisten Penyakit
Dalam percobaan kloning "Bintje" yang mengandung gen thionin dari daun barli (DB4) yang memakai promoter 35S cauliflower mosaic virus (CaMV), dengan mengikutsertakan Bintje tipe liar yang sangat peka terhadap serangan Phytophthora infestans sebagai kontrol, menunjukkan bahwa klon "Bintje" dapatmengekspresikan gen DB4. Jumlah sporangium setiap nekrosa yang disebabkan oleh P. infestans mengalami penurunan lebih dari 55% jika dibandingkan dengan tipe liar. Pendekatan ini sangat bermanfaat untuk menekan perkembangbiakan P.infestans sehingga kerugian secara ekonomi dapat direduksi.
Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi pada usaha untuk memproduksi tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Dengan memasukkan gen penyandi protein selubung {coat protein) Johnsongrass mosaic potyvirus (JGMV) ke dalam suatu tanaman diharapkan tanaman tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan. Potongan cDNA dari JGMV, misalnya dari protein selubung dan protein nuclear inclusion body (Nib) dengan kontrol promotor 35S CaMV, mampu diintegrasikan pada tanaman jagung dan diharapkan akan dihasilkan jagung transgenik yang bebas dari serangan virus.
Hal serupa juga sedang digalakkan dengan rekayasa genetika pada tanaman padi-padian untuk mendapatkan varietas yang resisten terhadap virus padi. Di samping itu, usaha untuk meningkatkan kualitas beras seperti yang diinginkan oleh manusia juga sedang diusahakan. Jepang memberikan investasi yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan di bidang biologi molekul padi.
Virus JGMV adalah virus yang asam nukleatnya berupa utas tunggal RNA dengan panjang 9.7 kilo basa (kb), virus ini menyerang beberapa tanaman yang tergolong dalam famili Graminae, seperti jagung dan sorgum yang menimbulkan kerugian secara ekonomi cukup besar. Gejala yang ditimbulkan dapat diamati pada daun berupa mosaik, nekrosa, atau kombinasi keduanya. Akibat serangan virus ini, kerugian para petani dapat sangat tinggi atau bahkan tidak panen sama sekali. Pada tahun 1960-an Department of Primary Industry di Quennsland telah mengembangbiakkan suatu jenis sorgum baru yang berasal dari India yang resisten terhadap virus JGMV tipe liar (JGMV-Jg). Sorgum tersebut diberi nama sorgum Krish dan dipercayai mempunyai gen resisten N yang tahan terhadap serangan JGMV-Jg. Percobaan ini menghasilkan beberapa galur sorgum Krish (misal QL12) yang resisten terhadap JGMV-Jg dan telah disebarkan kepada petani dan memberikan keuntungan.
Tetapi pada tahun 1985, di Queensland telah ditemukan galur virus baru yang mampu menginfeksi sorgum Krish yang mengandung gen resisten. Akibat munculnya galur virus baru ini, kerugian yang dialami pemerintah negara bagian Queensland-Australia demikian besar. Untuk membuktikan apakah benar bahwa gen penyandi protein selubung virus dari galur baru tersebut bertanggung jawab terhadap penghancuran sorgum Krish, usaha untuk mengonstruksi suatu jenis virus baru dengan jalan "swapping gene" CP dari kedua galur virus JGMV di atas dilakukan untuk mendapatkan virus rekombinan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan gen CP dari JGMV-Jg dalam urutan lengkap cDNAnya, kemudian disisipkan gen CP dari JGMV Krishinfecting strain sehingga hasil konstruksi ini akan mendapatkan virus rekombinan dengan seluruh susunan genomnya (9.7 kb) terdiri atas cDNA JGMV-Jg, tetapi gen CP-nya telah diganti dengan JGMV Krish-infecting strain.
Uji infeksi dari virus rekombinan tersebut secara in vitro pada inang sorgum Krish dan sorgum kontrol menunjukkan bahwa infeksi terjadi di kedua inang, sedangkan pada JGMV-Jg yang disintesis secara in vitro tidak mampu menginfeksi sorgum Krish. Temyata gen CPJGMV Krish-infecting strain ikut bertanggung jawab terhadap penghancuran sorgum Krish. Ini berarti bahwa dengan pendekatan biologi molekul, masa depan untuk membuat tanaman sorgum atau jagung transgenik dengan menyisipkan CP JGMV Krish-infecting strain ke genom tanaman terbuka dan diharapkan dapat membantu mengutasi masalah penyakit virus.
Pada tahun 1986 kelompok peneliti Roger Beachy menunjukkan bahwa tanaman tembakau transgenik yang mengekspresikan protein mantel tobacco mosaic virus (TMV) terlindungi dari infeksi TMV. Begitu pula pada biji-biji labu kuning transgenik dengan protein mantel virus memberikan proteksi terhadap water melon mosaic virus 2 (dua) dan Zucchini yellow mosaic virus telah banyak dijual di Amerika Serikat. Teknik ini merupakan piranti handal dalam perbaikan tanaman, khususnya tanaman seperti kentang, yang diperbanyak secara vegetatif, dimana penyakit virus dapat ditransmisikan dari tahun ke tahun melalui material pertanaman vegetatif (Nasir, 2002).
Karena phytoalexin terakumulasi pada situs infeksi dan menghambat pertumbuhan dan bakteri in vitro, diketahui bahwa phytoalexin merupakan senyawa pertahanan tanaman untuk melawan penyakit yang disebabkan oleh fungi dan bakteri. Ketika mengkonsep peran phytoalexin dalam ketahanan terhadap penyakit, Cruickshank dkk. mengemukakan adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas phytoalekxin sebagai senyawa pertahanan, yakni : aktivitas antimikroba yang diukur in vitro, kecepatan sintesis, lokalisasi dalam hubungannya dengan perkembangan penyakit, keberadaan senyawa in vivo yang mempengaruhi aktivitas antimikroba, dan kerapuhan phytoalexin terhadap detoksifikasi oleh mikroorganisme atau oleh tanaman.

Perbanyakan Cepat Batang Bawah Mawar Bebas Virus secara in-vitro
Mawar merupakan salah satu komoditas tanaman hias yang diprioritaskan pengembangannya di Indonesia. Sebagian besar tanaman mawar sudah terinfeksi PNRSV (Prunus Necrotic Ringspot Virus). Sumber utama penularan adalah Rosa multiflora yang digunakan sebagai batang bawah.
Menurut Sanjaya dan Sjafni (1995) perbanyakan mawar dapat dilakukan melalui biji, stek, okulasi, okulasi mata berkayu, penyambungan, cangkok dan perbanyakan secara in vitro. Untuk tujuan komersial , teknik okulasi paling banyak dilakukan ( Hasek, 1988). Keberhasilan pembibitan cara okulasi ini sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan batang bawah dan batang atas (mata tempel). Mata tempel yang sehat dan kualitasnya baik akan optimum pertumbuhannya apabila ditempelkan pada batang bawah yang sehat ( bebas virus) pula. Perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah terbukti dapat mempercepat pengadaan bibit dalam skala besar sesuai kebutuhan dengan kesinambungan yang tinggi serta bebas hama penyakit.
Penyediaan batang bawah bebas PNRSV perlu didahulukan sebelum program pembebasan kultivar atau klon batang atas dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena sekitar 66,7 % batang bawah mawar yang ada di Indonesia sudah terinfeksi PNRSV (Sulyo et. al., 2001). Sauer (1994) menyebutkan bahwa kultivar Sonia yang bebas PNRSV hasil bunganya meningkat 25%. Perlakuan sub kultur berulang-ulang dalam perbanyakan batang bawah secara in vitro diduga dapat membebaskan penyakit pada tanaman. Namun demikian perlu diteliti lebih lanjut sejauh mana pengaruh sub kultur dapat menghilangkan penyebab penyakit yang menyerang beberapa tanaman batang bawah mawar.
Pembebasan batang bawah dari infeksi virus dilakukan melalui kegiatan subkultur berulang pada media MS + 1.0 ppm BAP + 0,01 ppm TDZ, yang merupakan media terbaik hasil pra perlakuan. Metode serologi DAS ELISA digunakan untuk mengguji eksplant dan plantlet yang sudah diberi perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa planlet hasil subkultur ke- 4 masih terinfeksi virus sekitar 80% pada kultivar R. multiflora, 40 % pada Rosa sp. kultivar Multic dan Natal Brior. Infeksi menurun sekitar 20% pada semua kultivar yang digunakan setelah dilakukan subkultur sebanyak 6 kali. Pada R. multiflora dan kultivar Natal Brior infeksi menjadi 0 % setelah disubkultur sebanyak 8 kali, sedangkan kultivar Multic masih terinfeksi sekitar 20 %.
Tanaman Transgenik Toleran salin
Dengan teknologi kultur jaringan telah dapat dikembangkan tanaman transgenik toleran salin. Rekayasa genetika mentransfer gen dari padi liar yang toleran terhadap salin ke padi yang biasa digunakan sebagai bahan pangan melalui fusi protoplasma. Dapat juga ditransfer dari sejenis jamur yang tahan salin kepada tanaman yang akan dijadikan tanaman transgenik. Beberapa tomat, melon, dan barley transgenik yang toleran dengan salin.                                  

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008.Mengenal kultur jaringan.http://www.smallcrab.com/others/474-mengenal-kultur-jaringan.
Anjar. 2008.http://anjarborneo.blogspot.com/2008/12/peranan-kultur-jaringan.html
Gavinlervatana, P. and P. Prutvongse. 1991. Plant Commercial Micropropagation In Asia. Micropropagation : 181 – 189.
Wuryan. 2009. Perbanyakan Cepat Batang Bawah Mawar Bebas Virus secara in-vitro.http://wuryan.wordpress.com/2009/01/12/perbanyakan-cepat-batang-bawah-mawar-bebas-virus-secara-in-vitro/

Tidak ada komentar: